Legenda Puyang Gadis
Oleh: Anita Silvia
Ketua Forum Lingkar Pena Cabang Empat
Lawang
Puyang Gadis adalah salah satu legenda
yang sangat terkenal di setiap sudut Empat Lawang. Semua masyarakat Bumi Saling
Keruani Sangi Kerawati mengetahui tentang legenda tersebut. Dari segi penamaan
tokoh terdapat banyak versi cerita legenda yang ada di masyarakat. Namun
demikian tak menghilangkan esensi sebenarnya dari legenda Puyang Gadis.
Berawal dari sebuah kisah seorang
gadis nan cantik jelita yang lahir di desa Kupang. Desa tersebut saat ini
terletak di Kecamatan Tebing Tinggi berjarak sekitar 2 km dari perumahan dinas
Bupati Empat Lawang. Diberi nama Kupang karena konon katanya di desa tersebut
banyak ditumbuhi tanaman Kupang. Ada yang menyebut gadis cantik itu bernama
Siti Rohina, ada juga yang mengatakan namanya Siti Lam Jen’ah, dan ada juga
yang mengatakan ia bernama Mahina. Terlepas dari siapapun namanya, ia merupakan
gadis miskin yang dijuluki dengan Kembang Desa Kupang. Siti Rohina dikaruniai
kecantikan lahir dan bathin. Tak hanya parasnya nan jelita, ia juga sangat
rendah hati. Meski terlahir dengan wajah menawan, tak pernah sekalipun ia
meninggikan hati. Bahkan kecantikannya sudah tersebar keluar desa Kupang.
Siti
Rohina tinggal bersama kakak kesayangannya, ayah dan ibu mereka sudah tiada.
Sama hanya dengan Siti Rohina, terdapat perbedaan nama mengenai kakak Siti
Rohina. Ada yang menyebutnya Hulu Balang, ada juga yang bilang namanya Abdul
Amaran dan diberi julukan Bujang Juaro. Abdul Amaran memiliki ilmu silat dengan
kesaktian yang tinggi serta piawai dalam berbagai hal. Ia adalah sosok
laki-laki yang sangat menyayangi adiknya.
Pada suatu hari, Siti Rohina bersama
dengan gadis lainnya sedang mencuci pakaian dan mandi di sungai yang ada di
dekat Desa Kupang. Mereka terlalu asyik bermain air dan menikmati keindahan
sungai yang sejuk dan jernih. Siti Rohina dan teman-temannya menghabiskan waktu
di sungai hingga sore hari. Saat hendak pulang, Siti Rohina lupa membawa tempat
alat-alat mandinya atau disebut dengan Tukuk Labu. Ada juga yang bilang Tukuk
Labu itu tak sengaja hanyut terbawa arus sungai saat mereka sedang asyik
bermain air. Pada intinya, Siti Rohina kehilangan Tukuk Labu-nya.
Jam
berganti hari. Hari berganti minggu. Tukuk Labu milik Siti Rohina berkelana
terbawa arus hingga ke Sungai Musi Palembang.
Di suatu sore nan berawan, sebuah
kapal besar atau Jung melintas diperairan Sungai Musi kota Palembang. Kapal itu
milik seorang Sunan Palembang yang sangat kaya raya. Salah seorang pengawal
melihat benda aneh yang mengapung di atas permukaan air.
“Tuanku Sunan. Tengok, ado sesuatu
yang mengambang di sano.” Salah seorang pengawal menunjuk ke arah tujuan.
“Cepat kau ambekkan untukku.”
Perintah Sunan Palembang.
Dengan serta merta pengawal tersebut
mengambil benda yang mengapung.
“Benda ini aneh nian, tuanku Sunan,”
pengawal yang lain berbicara.
“Yo, kau benar. Ini aneh nian. Aku jadi
penasaran benda ini apo dan milik siapo.” Sunan Palembang benar-benar dibuat
penasaran.
“Kalau cak itu cepat kau carikan
ahli nujum.” Perintah Sunan kepada salah satu pengawalnya.
“Baik, Sunan.” Yang diperintah mencari
ahli nujum setelah kapal mereka menepi di tujuan.
Alhasil mereka menemukan ahli nujum
yang kemampuannya tidak diragukan lagi. Segeralah Sunan Palembang menemui ahli
nujum tersebut dengan harapan tinggi dapat mengetahui mengenai benda aneh yang
ditemukannya.
“Cubo kau cari tahu benda apo dan
milik siapo ini?” Perintah Sunan Palembang.
Si ahli nujum mengambil benda itu
lalu mengucapkan beberapa mantra yang terdengar asing bahkan aneh. Hanya si
ahli nujum yang mengetahui makna ucapannya.
Tak butuh waktu lama untuk memenuhi
hasrat keingintahuan Sunan Palembang, si ahli nujum sudah mengetahui nama benda
itu, siapa pemiliknya serta darimana asalnya.
“Apo kau sudah tau?” Tanya Sunan
Palembang penasaran.
“Yo, Sunan. Aku sudah tahu.” Jawab
ahli nujum dengan mantap.
“Cepat beritahu aku.” Sunan
Palembang semakin tak sabaran.
“Benda ini namonyo Tukuk Labu. Biasonyo
dipakai untuk narok perlengkapan mandi. Tukuk Labu ini punyo gadis beagak
namonyo Siti Rohina.” Si ahli nujum diam sejenak.
Mendengar pemilik Tukuk Labu itu
seorang gadis cantik, Sunan Palembang semakin bersemangat dan semakin tak
sabaran.
“Lalu dimano Siti Rohina tinggal?”
Sunan Palembang mendesak.
Si ahli nujum menarik nafas pendek
lalu melanjutkan ucapannya.
“Siti Rohina tinggal di desa yang
banyak ditumbuhi tanaman Kupang di belahan Sungai Musi arah Selatan. Dio adalah
kembang desa yatim piatu dan berasal jak di keluargo miskin. Kalau Sunan nak
pegi ke sano maka harus pakai perahu.”
Setelah mengetahui semuanya, Sunan
Palembang memutuskan untuk berkunjung menemui Siti Rohina. Ia memang tipe
laki-laki yang sangat suka dengan gadis cantik. Karena itulah Sunan Palembang
memiliki banyak selir.
Tanpa menunggu waktu lama, esok hari
pagi-pagi sekali Sunan Palembang dengan didampingi pengawalnya segera meluncur
ke desa yang banyak ditumbuhi tanaman Kupang. Kapal megah milik Sunan Palembang
berlayar menuju ke kampung Siti Rohina. Setibanya di tempat tujuan, masyarakat
Desa Kupang dibuat kaget dengan kedatangan seorang tamu terhormat yang turun
dari kapal mewah.
“Kau cari tahu dimano rumah Siti
Rohina.” Perintah Sunan Palembang kepada pengawalnya.
“Baik, tuanku.”
Tak sulit mencari rumah gadis paling
cantik di desa Kupang. Masyarakat yang sedang mencari ikan segera menunjukkan
rumah Siti Rohina.
Sayangnya, pada hari pertama
berkunjung, Sunan Palembang tak dapat berjumpa dengan gadis cantik idamannya
dikarenakan Siti Rohina sedang nyamah atau menangkap ikan hanya dengan
menggunakan tangan. Hanya ada Bujang Juaro di rumahnya.
Sunan Palembang menyampaikan maksud
dan tujuannya datang ke Desa Kupang. Mengetahui hal tersebut Bujang Juaro
sangat terkejut. Ketenaran Sunan Palembang yang memiliki banyak selir sudah
tersebar luas. Termasuk Bujang Juaro mengetahui hal tersebut. Ia jelas tak
ingin jika adik kesayangannya menjadi selir dari orang seperti Sunan Palembang.
“Kalau begitu silakan Sunan
Palembang datang ke sini tigo hari lagi.” Ucap Bujang Juaro dengan sopan.
“Baiklah. Tigo hari lagi harus ado
kabar baik yang aku terimo,” Sunan Palembang agak sedikit kecewa karena tak
bisa menemui Siti Rohina.
Sepulangnya Siti Rohina dari nyamah
di sungai, Bujang Juaro langsung menceritakan perihal yang terjadi selama
adiknya tak ada di rumah. Sontak Siti Rohina terkejut dan menolak pinangan dari
Sunan Palembang.
“Kak, Rohina dak galak menikah dan
jadi selir dari Sunan Palembang itu. Kakak kan tahu kalau dio punyo banyak
selir,”
“Aku pun tambah dak galak jikalau
adikku menjadi selir.”
Mereka terdiam sejenak. Lalu Bujang
Juaro punya rencana agar Sunan Palembang tak bertemu Siti Rohina.
“Nah, aku punyo akal. Klek kalau si
Sunan itu datang agi ke sini, kau nyemuni lah dulu ke desa sebelah, Batu Pance.
Jangan balik sebelum rombongan Sunan itu balik,”
“Ao, kak.”
**********
Tibalah hari yang telah dijanjikan.
Sunan Palembang beserta pengawalnya datang kembali ke rumah Siti Rohina dengan
harapan bisa bertemu dengan kembang desa tersebut. Namun sayang, Sunan
Palembang dibuat kesal dengan tidak adanya Siti Rohina. Untuk kedua kalinya
Sunan Palembang merasa kecewa.
“Dimano Siti Rohina?” Tanya Sunan
Palembang menyelidik.
“Maafkan aku, Sunan. Siti Rohina
sedang dak katek di rumah.” Jawab Bujang Juaro tegas.
Tampak jelas dari raut Bujang Juaro
bahwa ia menolak kedatangan rombongan. Sunan Palembang yang merasa dipermainkan
tidak terima dengan perlakuan si Bujang Juaro. Ia sangat kesal dan
memerintahkan para pengawalnya untuk menyerang Bujang Juaro. Namun sayang, kesaktian
Bujang Juaro sudah terkenal seantero nusantara, tak ada satupun dari pengawal
Sunan Palembang mampu menumbangkan Bujang Juaro. Malah satu per satu para
pengawal dikalahkan. Hari kedua kedatangannya, Sunan Palembang kembali pulang
dengan tangan kosong.
Sekembalinya Sunan Palembang ke
tanah asalnya, Bujang Juaro memerintahkan Siti Rohina yang sedang bersembunyi
di desa Batu Pance untuk kembali ke desa Kupang. Kali ini, mereka harus
menyiapkan siasat terbaru agar Siti Rohina tidak bertemu dengan Sunan Palembang
yang belum juga menyerah bahkan rasa penasarannya semakin menggebu. Tak baik
jika Siti Rohina kembali ke desa Batu Pance, cepat atau lambat Sunan Palembang
pasti akan mengetahuinya.
Lama mereka berpikir, akhirnya
Bujang Juaro bersama warga desa Kupang menemukan ide brilian untuk
menyembunyikan Siti Rohina. Mereka memutuskan membuatkan lubang persembunyian
untuk Siti Rohina yang dibuatkan di belakang rumahnya. Alhasil setiap kali
Sunan Palembang dan rombongan ke Desa Kupang untuk menjemput paksa Siti Rohina,
mereka harus kembali dengan tangan kosong. Ditambah lagi warga desa Kupang
sudah sangat geram dan merasa terganggu dengan kedatangan mereka.
Pada suatu hari saat Sunan Palembang
dan para pengawalnya kembali ke desa Kupang, bergegaslah Bujang Juaro dan warga
menyembunyikan Siti Rohina ke dalam lubang dengan sangat terburu-buru. Kali ini
Sunan Palembang sungguh amat geram dan terpaksa meninggalkan desa Kupang tanpa
membawa apa-apa.
Seketika Bujang Juaro tersadar dan
tersentak bahwa dirinya lupa memberikan bambu yang biasanya digunakan Siti
Rohina untuk jalur pernafasan.
“Alamak, aku nede tegingat masangka
bolo pernafasan di lubang Siti Rohina,” ucap Bujang Juaro dengan wajah cemas.
Segeralah mereka menggali lubang
tersebut tapi alangkah terkejutnya, di dalam lubang tak dijumpai Siti Rohina.
Hanya menyisahkan sehelai pakaiannya saja. lalu tiba-tiba terdengarlah suara
ghaib dari Siti Rohina.
Uman ade anak cucong aku yang
kecantikannyo lebih dari aku, make die nede kan panjang umur, dia pasti mati
mude. Make nede tejadi hal yang same lok aku.
Kisah dari Puyang gadis ini sangat
diyakini oleh warga desa Kupang hingga saat ini. Menurut pengakuan dari warga
setempat sudah banyak terjadi gadis Kupang yang cantik jelita selalu saja mati
muda atau meninggal sebelum menikah.
Bahkan kuburan Puyang Gadis yang
berdampingan dengan kuburan Bujang Jauro
sering diziarahi oleh warga setempat. Hal aneh lainnya ialah kuburan
Puyang gadis selalu meninggi beberapa sentimeter setiap tahunnya. Fenomena
tersebut diyakini agar warga desa Kupang selalu mengenang Puyang Gadis.
Biografi Penulis
Anita
Silvia, lahir di Tebing Tinggi, 09 Oktober
1993. Anak pertama dari pasangan Lukman dan Elvi Sukaisi. Memiliki dua orang
adik laki-laki, Yoga Satya Bimantara yang sekarang sedang melanjutkan pendidikan
prodi Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN
Bengkulu), Rama Ardiansyah Putra yang sekarang sedang duduk di kelas VIII MTS
Negeri 1 Empat Lawang.
Kerap
disapa dengan panggilan Anita, ia menamatkan pendidikan di SD Negeri 7 Tebing
Tinggi Kabupaten Empat Lawang, SMP Negeri 1 Tebing Tinggi Kabupaten Empat
Lawang, dan SMA Negeri 1 Tebing Tinggi Kabupaten Empat Lawang.
Pada
2011, Anita melanjutkan studi ke Instutiut Agama Islam Negeri (IAIN) Bengkulu jurusan
Dakwah prodi Bimbingan Konseling Islam (BKI) dan berhasil memperoleh gelar
sarjana Sosial Islam strata I pada tahun 2015.
Semasa
di kampus, Anita mengembangkan hobinya di dunia literasi, pada 2014 berhasil menerbitkan
buku fiksi kumpulan cerpen yang berjudul Cahaya di Ujung Kelam, dan buku
ontologi cerpen Satu Hati Tujuh Purnama karyanya bersama dengan enam penulis
lainnya. Pada tahun 2015, Anita kembali menerbitkan buku novel yang berjudul
Putri Empat Lawang Mengawali Mimpi di Bumi Raflesia. Pada tahun 2018 dipercaya untuk menulis buku biografi H. Syahril Hanafiah, S.Ip, MM (Bupati Empat Lawang periode 2016-2018). Tak hanya hobi menulis,
Anita juga merambah ke dunia kepenyiaran. Ia menjadi salah satu penyiar radio
kampus L-Baas 97,6 FM IAIN Bengkulu.
Usai
menuntut ilmu di kota seberang, Anita memutuskan untuk kembali ke tanah
kelahiran. Ingin mentransfer ilmu-ilmu kepenulisan yang didapat. Langkahnya dimulai
dengan dirinya menjadi Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Empat Lawang,
yakni organisasi yang bergerak di bidang kepenulisan. Melalui FLP, Anita ingin
membentuk generasi remaja Empat Lawang yang berkarya. Mengkaderisasi
remaja-remaja Empat Lawang untuk menjadi seorang penulis, mengharumkan nama
Empat Lawang dalam dunia literasi. Saat ini, Anita bekerja sebagai jurnalis di
kantor Surat Kabar Harian Pagi Rakyat Empat Lawang.
Agar
komunikasi dengan pembaca dapat terjalin dengan mudah, bisa menghubungi ke 0823
7116 8507 atau kirim email ke Anitalukman26@gmail.com.
*Menulis
untuk Mencerahkan*
*Waktunya
yang muda yang berkarya*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar